IBU, SETULUS HATIMU YANG SELUAS SAMUDERA

Dok. Pribadi
Saya hanya memiliki sosok Ibu saat ini. Dia begitu berarti dan penyayang, biarpun aku dan Ibu tinggal berjauhan, hati kami akan selalu dekat. Ada ikatan batin yang begitu kuat menyatukan kami. Bahkan dikala Ibu sakit, menangis ataupun bahagia, saya dapat merasakannya. Ibu sangat berarti dalam kehidupan saya.

Awalnya kehidupan saya begitu lengkap dan membahagiakan, Ayah dan Ibu akan selalu mencurahkan kasih sayang sepenuh hati kepada anak-anaknya. Mereka selalu ingin kami mendapatkan yang terbaik, tanpa kekurangan apapun. Mereka tidak ingin kami merasakan kepedihan mereka semenjak kecil. Ayah dan Ibu selalu mendidik saya dan adik dengan kelembutan dan kesabaran, senakal apapun kami, mereka akan menegur kami dengan rasa cinta dan kasih, yang akhirnya membuat kami mengerti bahwa itu tidaklah baik.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ayah dan ibu menikah pada tahun 1985. Romantisme mereka begitu terasa, yang setiap hari saya lihat dengan mata sendiri. Bagaimana Ayah memperlakukan Ibu dengan lembut serta penuh cinta, begitu pun sebaliknya.

Dalam kehidupan pasti ada suka dan duka, dimana roda kehidupan akan selalu berputar. Disaat saya dan keluarga sedang menikmati puncak kebahagiaan, seketika itu pun kami terjatuh dengan kepergiaan Ayah kepangkuan Tuhan di tahun 2007.

Saya begitu terpukul, susah sekali menerima kesedihan itu. Apalagi Ibu harus kehilangan belahan jiwa yang sangat dicintai dan kasihi. Saya lihat ibu terus menangis sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit, karena saat Ayah pergi, Ibu sedang mengandung 5 bulan. 

Ibu terus mengelus dada dan mengucap istighfar, sembari memohon untuk selalu diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi ujian hidup yang Tuhan berikan. “Ayah tidak punya riwayat penyakit berat”, itu yang membuat kami merasa tidak yakin dengan kepergiaan Ayah yang begitu cepat.

Setelah Ayah pergi, Ibu adalah satu-satunya yang mampu membuat saya tegar, apalagi hati Ibu begitu rapuh saat kehilangan Ayah. Maka dari itu, saya tak ingin sedikit pun membuat Ibu menangis dan terluka. Saya selalu ingin berusaha membuat Ibu selalu tersenyum dan bahagia. 

Seiring waktu berjalan, rasa duka kami perlahan mulai hilang. Saya dan Ibu ikhlas menerima kepergiaan Ayah. Tapi setelah kepergiaannya, ujian terus datang kepada kami, tak sedikit air mata dan luka di hati yang kami dapat.

Ibu mulai dianggap sebelah mata, karena statusnya yang seorang janda. “Ya Tuhan segitu burukkah pikiran orang terhadap seorang janda”pikir saya dalam hati. Sakitnya tuh dihati melihat Ibu yang diperlakukan seperti itu. Anak mana coba yang ingin melihat ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya disakiti. “Tidak ada satu perempuan pun yang mau menjadi seorang janda” ucap Ibu. Padahal semua orang tahu Ibu bukan bercerai, melainkan terpisah karena kematian,. Tapi sikap mereka dilingkungan sekitar begitu membuat perasaan kami begitu sakit.

Satu setengah tahun saat kepergiaan Ayah, Ibu kembali disalahkan oleh keluarga sendiri. Karena salah satu saudara (sebut saja L) kabur dari rumah, padahal Ibu tidak tahu apa-apa. 

Dan saat itu saya dan suami mulai mengusut kejadian demi kejadian. Dan ternyata Ibu di fitnah serta diadu domba oleh keluarga sendiri (saudara jauh), supaya kami tidak diperhatikan lagi oleh keluarga besar Ayah. Entahlah apa maksud orang yang sudah memfitnah Ibu dengan keji, sampai membuat Ibu dibentak dan tidak dihargai oleh keluarga suami dari L. Bayangkan bagaimana terlukanya hati Ibu, apalagi kami anak-anaknya "menyakitkan".

Ayah memang meninggalkan beberapa pohon untuk investasi anaknya dimasa depan. Dan ketika sudah waktunya panen, saya bermaksud untuk menjualnya, karena membutuhkan biaya untuk hidup sehari-hari Ibu dan adik. Saat mau panen, eh entah kenapa salah satu saudara jauh (sebut saja R) Ayah, datang membentak-bentak Ibu didepan orang banyak. Bagaimana perasaan kami? “sakit banget”. 

Alasannya penebangan pohon tanpa seizinnya, “emang dia siapa?” pikir saya dalam hati. Dan tahu dia bilang apa?, “kebun itu sudah diurus sama dia”. Lah saya jawab “emang ini kebun siapa?”, dia itu tidak punya hak apa-apa. Karena itu kebun milik Nenek, dan hasil penjualan pohon akan dibagi dua dengan kakak dari Ayah sebagai ahli waris Nenek, yang juga sudah tiada.

Jujur, saya marah dengan perilaku mereka yang seenaknya mengklaim kepemilikan akan suatu barang yang memang bukan haknya. Dalam agama pun hal itu dilarang. Apalagi tidak ada perjanjian dan izin akan dirawat atau digarap oleh siapa?, karena dari awal memang sudah diserahkan semua untuk diurus oleh para ahli waris. Dan semua setuju untuk Ayah saya menggarapnyaful, dan karena Ayah sudah tiada, maka mereka menyerahkan semua kepada saya untuk merawatnya.

Jujur semenjak itu, saya memiliki kebencian kepada orang-orang yang telah menyakiti hati Ibu. Saya anaknya, dan yang lebih tahu Ibu dari siapapun. Ibu tidak akan mampu menyakiti orang lain, karena dia punya Tuhan dan agama, apalagi Ibu memiliki kesetiaan luar biasa kepada anak dan suaminya yang sudah tiada. 

Bahkan sampai sekarang tak pernah terbesit sedikit pun dalam pikiran Ibu untuk kembali menikah. Dari awal Ayah pergi pun sudah banyak yang melamar, tapi Ibu tidak mau, baginya Ayah adalah pelabuhan terakhir, dan kehidupannya kini hanya untuk anak dan cucunya.

Setelah ujian serta masalah yang secara terus menerus terjadi pada Ibu, disertai air mata dan sakit di hati yang tidak sedikit, Ibu masih menunjukkan ketulusannya untuk memaafkan mereka, mendoakannya supaya selalu ada dalam lindungan Tuhan. 

Saya bisa melihat ketulusannya yang secara langsung saat R itu sakit dan anak-anakya menikah, Ibu menjenguk dan datang kepernikahannya, padahal R menunjukkan sikap tidak suka. Ibu tetap saja datang, karena kata ibu “sesama muslim harus saling memaafkan, apalagi mereka saudara, dosa bagi kita kalau masih menyimpan rasa dendam”.

Saat Ibu tahu bahwa saya masih menyimpan kebencian dan dendam kepada mereka yang menyakiti Ibu. Karena saya sering menunjukkan sikap amarah saat bertemu mereka, Ibu langsung menasehati dan mencoba menenangkan hati saya.

“Jangan menyimpan dendam dan benci itu terlalau lama, nak. Ibu gamau kamu menjadi manusia berdosa, Tuhan saja maha pemaaf, apalagi kita yang hanya manusia biasa, ibu sudah ikhlas dan maafkan mereka, kamu juga meski maafkan mereka” ucap Ibu sambil menangis tersedu-sedu.

“Saya tahu bu, tapi mengapa begitu sulit untuk memaafkannya, setelah apa yang mereka lakukan, apalagi ada anak yatim yang terluka, kalau dulu saat Ayah ada mereka dekat dengan kita, kenapa setelah tiada mereka jadi seenaknya menyakiti hati kita?”, jawab saya.

“Mereka juga hanya manusia biasa seperti kita yang tidak luput dari dosa, maafkanlah nak. Tuhan tidak suka pada manusia yang mempunyai hati dendam dan benci, apalagi itu bisa menjauhkan rejeki kamu sendiri, maafkan ya?”

Dan sekali lagi ketulusan hati Ibu telah mampu membukakan pintu hati saya, menyadarkannya untuk bisa saling memaafkan antara sesama manusia. Apalagi saya seorang muslim yang memiliki keyakinan kuat tentang kebesaran dan kekuasaan Sang Illahi. 

Dan saya semakin sayang kepada Ibu, dia adalah panutan hidup saya, menjadi idola terbaik, yang akan selalu ada mendampingi saya. Ibu mengajarkan saya tentang kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi hidup, sesusah dan sepahit apapun masalah yang kita hadapi. Ibu selalu menyuruh saya jangan mengeluh dan pandailah bersyukur, biar rejeki akan selalu mengalir dan hidup kita penuh berkah.

Setulus kasih dan hati Ibu pada anaknya, selalu Ibu tunjukkan dengan selalu ingin membahagiakan anaknya. Ibu bekerja keras dalam mencari nafkah untuk anaknya yang masih sekolah, yaitu kedua adik lelaki saya. Ibu ingin memberikan yang terbaik kepada mereka, seperti sewaktu ada Ayah. Ibu pun dengan semangat kembali kuliah, karena memang tuntutan pekerjaan. Biarpun sudah tua, Ibu tidak pantang menyerah, karena semua juga demi anak-anaknya. Biar Ibu punya penghasilan tambahan, untuk sekolah dan kehidupan yang lebih baik.


Dok. Pribadi

Biar pun saya sudah menikah, kasih sayang Ibu tidak pernah berkurang sedikit pun, dia akan cemas kalau satu hari saja saya tidak menghubunginya. Ibu sangat senang mendengar ocehan cucunya, apalagi kalau Ibu sedang dekat dengan mereka begitu sangat bahagia. 

Bahkan tak sedikit waktu yang Ibu habiskan hanya bermain dengan mereka. Lari-lari sambil bermain sepak bola, dan saat melihat itu semua rasanya seperti tak ada beban sedikit pun dalam hati ini.

Saya bersyukur Ibu selalu ada dalam kesehatan dan kebahagiaan. Biarpun saya belum bisa memberikan apa-apa, Ibu selalu berkata “Ibu tidak butuh apa-apa, kalian anak-anak ibu sukses dan sehat selalu, sudah membuat Ibu bahagia, apalagi kalian antara saudara selalu hidup rukun”. Saya sangat bersyukur memiliki Ibu, yang selalu mengajarkan saya banyak hal, memotivasi hidup saya, dan menjadi inspirasi terbesar saya. Setiap pekerjaan yang saya lakukan, selalu diiringi oleh restu dan doa dari ketulusan hati Ibu.

Dengan melihat secara langsung kebesaran dan ketulusan hati Ibu yang begitu ikhlas memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya. Saya sadar bahwa hati Ibu memang seluas samudera. Kasih sayang kepada anak-anaknya juga cucunya sangat tulus. Ibu pun adalah sosok yang penyabar dan rajin ibadah, maka dari itu Ibu selalu mendekatkan diri dengan Tuhan, supaya selalu diberi kedamaian, ketenangan, kesehatan dan kebahagiaan serta dihindarkan dari sekali penyakit hati.

Saya pun mendapat pelajaran yang begitu berharga. Karena saya pun sudah menjadi orang tua, makanya saya harus bisa seperti Ibu yang selalu tulus ikhlas dan sabar membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Ibu, setulus hatimu yang seluas samudera. Engkau begitu luar biasa, dan begitu penyayang, semoga engkau, “Ibu” selalu ada dalam lindungan Tuhan, diberi kesehatan dan keselamatan, yang akan selalu terus bersama kami “anak-anaknya”. Membimbing dan menerangi jalan kehidupan kami, dengan kekuatan doa dari ketulusan hati Ibu.



ARTIKEL INI DIIKUTSERTAKAN PADA KONTES UNGGULAN :
HATI IBU SELUAS SAMUDERA



14 komentar

  1. Mengharukan kisahnya Pada bagian difitnah itu cukup membuat dada saya sesak. Memang keluarga kadang tidak sejalan berinngan. Perbedaan konsep dan cara permikiran sering membuat sesama anggota keluarga saling gontok gontokan. Sukses dengan GA nya ya. Semoga menang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mas Asep sudah berkunjung.....
      Bener mas, terkadang kita selalu binggung dibuatnya, saya juga nulis ini selalu bikin nangis, habis ingat masa lalu

      Hapus
  2. ahhh ibu memang hangat mbak untuk dipeluk setelah Allah..... mksih y mbak saya jadi sadar ternyata Allah begitu indahnya merajut kehidupan manusia dan punya masing-masing jalan dan liku subhanallah ^-^.9

    BalasHapus
  3. Wah orangtuanya menikah ditahun kelahiran saya :D , ibu memang tempat yang paling sejuk dan indah untuk berteduh

    BalasHapus
    Balasan
    1. beneran mak Tian ?, berarti kita beda setahun ya, saya 86 akhir...hehehe

      benar sekali mak, ibu segalanya

      Hapus
  4. Memang stigma janda itu dalam beberapa masyarakat sulit banget dihilangkan ya mak. Salam untuk ibunda. Sukses GA-nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mak......

      saya sampaikan salamnya. bener mak, kenapa ya seperti itu ? saya sedih, kalau mereka yg seperti itu gimana ya perasaaannya?

      Hapus
  5. Ibu yang begitu pemaaf, sungguh hatinya seluas samudra. Merembang mata saya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah om Akhmad...Ibu mengajarkan saya untuk menjadi pemaaf juga

      Hapus
  6. seberat apapun beban seorang ibu, tetap harus bisa memberikan contoh yg baik pada anak2nya berupa tak boleh dendam dan membenci ya mak...

    BalasHapus
  7. betul hati ibunda seluas samudra...selamat hari ibu mak dan selamat telah memenangi kontes ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mak Ida, selamat juga buat mak Ida. selamat hari Ibu

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan memberikan komentar. Mohon maaf link hidup dan spam akan otomatis terhapus.